Saturday, May 31, 2014

Tempus Fugit

Udah 14 tahun rasanya gw mengenyam pendidikan di negeri ini. Mulai dari SD, SMP, SMA dan sekarang menuju tahun ke tiga gw kuliah, ngga terasa sudah gw lewati. Teringat ketika gw melalui masa-masa "deg-degan" pada saat tes masuk SMP, masuk SMA, juga seleksi undangan. Semua hal itu gw lewati dengan penuh perjuangan. Determinasi gw pun diuji oleh berbagai godaan yang ingin menyeret gw untuk beristirahat sejenak. Ya, tak jarang gw sebagai manusia yang diberi nafsu terseret oleh godaan-godaan itu. Ngga jarang juga orang tua gw ngingetin biar gw tetep "at the right track", lurus mengejar impian gw.

Selama gw menjalani hidup gw, ada beberapa hal yang masih gw sesali sepanjang hidup gw. Ngga ikut OSIS pas SMP maupun SMA, ngga ikut OSN, dan lain-lain yang bikin gw kepikiran. Kadang gw pengen ada mobil kaya di film Back to the Future dimana gw bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan gw. Ya, tapi itu ngga mungkin. Mengingat kesalahan-kesalahan di masa lalu hanya membuang waktu saja.

Yup, tempus fugit atau kalo bahasa inggrisnya "time flies". Denger pertama kali kata-kata ini, gw langsung menganggukkan kepala gw melihat apa yang telah gw lalui. Waktu begitu cepatnya berlalu sampai akhirnya gw menyadari bahwa ada banyak kesempatan gw yang hilang. Procrastinating yang gw lakukan, ketidak beranian gw untuk mengambil kesempatan serta terlalu mempertimbangkan akibat yang akan terjadi membuat gw menyesali beberapa momen hidup gw. Waktu yang terus berputar tanpa peduli apa, kenapa dan mengapa menentukan bagaimana kita mengisi hidup kita.

As a result, gw tahu bahwa waktu berlalu begitu saja. Gw tahu bahwa setiap kesempatan yang ada tidak datang dua kali. Gw pun ngga mau membiarkan diri gw untuk melakukan hal yang pada akhirnya gw sesali seumur hidup. Mengambil kesempatan yang ada pun gw coba untuk terapkan dalam hidup gw. Namun, logika pun gw terus jalankan agar gw tidak mengambil kesempatan yang menjerumuskan ke hal yang buruk. Karena gw tahu, tempus fugit.

 

   

Thursday, May 22, 2014

Pemilu

Ngga kerasa udah pemilu lagi setelah pemilu 2009 lalu lewat. Pemilu yang awalnya gw cuman biasa nemenin ibu bapak ke tpsnya akhirnya punya kesempatan buat milih. Ya walaupun sekarang belum mulai pencoblosan capres dan cawapresnya, gw mulai melihat berita-berita yang ada baik dari koran maupun di website-website (ngga ada tv di kosan jadi terpaksa internet buat nyari-nyari berita). Dua pemilu lalu yang berujung kepada terpilihnya Pak SBY (dua kali berturut-turut), akhirnya sekarang terdapat kemungkinan dua pasangan capres-cawapres yang sekarang sedang naik daun. Mereka adalah pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta.
Dengan adanya dua pasangan calon yang muncul, timbul isu-isu miring yang diistilahkan sebagai black campaign. Saling menjatuhkan satu sama lain sekarang terasa kental di media massa terutama. Entah dari pihak calon, tim sukses atau rakyat biasa, ada saja isu di media massa yang menyebabkan ke dua calon namanya tercoreng; baik itu benar keburukannya atau hanya fitnah dari pihak yang mengoposisi calon tersebut.
Hal yang ironis dalam keberlangsungan pemilu sekarang adalah peran media massa yang memihak ke satu sisi. Media massa yang bersifat memaparkan fakta yang ada sekarang banyak yang beritanya simpang siur. Pemilik kantor berita yang bermain di politik tak luput dari berita yang simpang siur itu. Fakta yang dipapar pun malah yang keburukannya semata; mengulik masa lalu kelam dari kedua calon. Walaupun kadang kita memang harus tau track record dari sang calon, bukan berarti membesar-besarkan adalah hal yang wajib. Kita sebagai manusia harusnya bisa menutupi aib dari orang.
Nah, balik lagi ke masalah media massa tadi. Amanah merupakan kunci dari permasalahan ini. Amanah ini yang mengarahkan kita untuk tetap berada di platform yang benar. Memang, kekhilafan sering muncul dalam keseharian kita. Namun, itu bukanlah dalih untuk membenarkan tindakan yang kita lakukan. Kekhilafan itu mesti diminimalisir agar tidak terulang lagi kedepannya. Amanah yang dipercayakan orang kepada kita sudah sepatutnya kita jaga karena kepercayaan orang kepada kita tak ternilai harganya.

Wednesday, May 21, 2014

Bane

Tepatnya kalo ngga salah sekitar bulan Juli, 2012. Gw bareng temen-temen satu fakultas pada cabut bareng ke BIP nonton The Dark Knight Rises. Wajar, ngga mau ribet nontonnya, gw ngusulin bukan minggu-minggu pertama film itu release. Alhasil, gw ngga susah-susah nyari tempat yang enak buat nonton di sana. Gw bahkan bisa beli last minute setelah gw bareng temen gw buru-buru ke BIP abis nyebarin poster lomba ke sd-sd. Sampai di dalem studio, seperti biasa gw ngasih tau film studio apa aja pas awal-awal film.

Film ini bisa gw bilang worth watching abis. Mulai dari karakter tiap peran yang kuat, fight yang intens antara Batman dan Bane, sampai twist pas bagian akhir-akhir film yang ngga disangka. Overall, gw menikmati film dengan durasi 2 jam lebih ini. Gw bahkan nonton dua kali pas balik ke Jakarta. Cara ngomong dari si Bane  yang manly abis menjadi motif gw buat nonton lagi.

Tapi, hal yang pengen gw sorot di sini bukanlah tentang sinopsis film ini, bukan juga untuk menilai film ini dari perspektif gw. Hal yang pengen gw sorot disini adalah satu satu bagian yang menarik perhatian gw, yaitu tentang si Bane ini. Bane disini merupakan tokoh antagonis dari film ini. Fightingnya yang brutal serta mastermind dari chaos yang terjadi di Gotham menyebabkan ia menjadi ikon dari film ini. Tidak luput juga cara ngomong dengan maskernya itu menjadi perhatian dari para audiens. Gw pun sampai niruin cara ngomongnya terus sampai sekarang. Beside all of that, gw juga tertarik tentang prinsip yang dia anut.

Bane bukan merupakan League of Shadows;organisasi yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan dunia dengan melakukan purges dalam berbagai sejarah dunia. Namun, ia tetap bertujuan untuk mencapai tersebut. Jika dilihat dari perspektif kebrutalannya dalam film, wajar kita ia merupakan pihak antagonis film ini. Namun, jika dilihat secara apa yang ingin dia capai, sulit juga mengecap ia sebagai pihak antagonis. Keinginannya untuk mencapai keseimbangan dunia sebenarnya wajar di kalangan kita karena itulah cita-cita manusia secara umumnya.

Nah, kalau dilihat disini adalah masalah prinsip. Baik organisasi maupun individu punya prinsip yang membedakan mereka satu dengan yang lain. Prinsip ini secara alamiah dalam diri manusia masing-masing. Prinsip ini mengakar kuat dalam manusia baik karena lingkungan teman yang membentuknya, pengalaman yang pernah terjadi pada individu tersebut, atau didikan dari orang tua. Prinsip ini juga yang kadang menyebabkan konflik antara individu atau organisasi.

The Beatles dengan lagunya Imagine mengajak para pendengarnya berimajinasi bagaimana dunia tanpa agama, negara, dll, termasuk dengan prinsip antara satu dengan yang lain yang menyebabkan perbedaan. Sebenarnya prinsip yang membuatnya berkonotasi negatif ini adalah karena didorongnya keegoisan antara manusia sendiri. Keegoisan ini yang membuat tiap individu ingin mendorong prinsipnya ke orang lain juga. Understanding antara satu sama lain itulah yang mesti dibangun agar hilangnya egoisme yang menjadi pendorong itu.

Monday, May 19, 2014

Dawegan

Kakek gw tinggal di daerah bernama Desa Sukamaju, lebih tepatnya dideket perbatasan antara Ciamis sama Tasikmalaya. Gw pas kecil, tepatnya pas jaman sd-smp, sering banget mudik ke kampung halaman gw yang itu. Walaupun gw dulu agak sedikit kesel dimana gw harus melewati 6 jam perjalanan melalui liku-liku daerah Puncak dan Nagreg (dulu belum ada Cipularang) ditambah kadang gw muntah-muntah gara-gara mabuk kendaraan, gw tetep seneng kesana. Hal yang paling bikin gw seneng adalah karena gw disambut sama temen-temen gw disana serta kakek nenek gw.
Paling gw inget adalah pas gw bareng temen-temen gw. Umumnya temen-temen gw pada nunggu di depan rumah nenek gw sambil manggil gw ngajak maen. Gw berangkat ke lapangan bareng temen gw maen sepakbola biasanya. Kadang ikut bareng kakek gw "ngusep" atau mancing. Ya, gw sama temen-temen gw cuman nunggu sambil maen kartu disaat kakek gw mancing. Kalo kata dunia pariwisata, hospitalitynya yg gw rasakan disana sangat besar.
Tapi, kekeluargaan kerasa banget pas abis maen, umumnya kakek gw minta petugas kebun deket makam buat ngambil dawegan atau kelapa di kebun itu. Kakek gw beli dari petugas kebun itu lalu motong dawegan yang dibeli itu buat disantap bareng gw dan temen-temen gw. Ya, kadang temen gw sering rebutan ngga jelas dan kakek gw marahin. Namun, disana gw sangat menikmati dawegan itu bareng temen gw sambil bincang-bincang; melepas lelah dari main-main di lapang.
Sekarang ini, gw merasa kekeluargaan dalam perkuliahan gw sangat kompleks. Dituangkan dalam bentuk visi misi ketua himpunan gw, gw merasa aneh karena kekeluargaan ini dikaitkan dengan kewajiban, profesionalitas, dll. Ya, hidup emang berubah sepanjang umur gw bertambah. Gw merasa arti dari kekeluargaan ini terlalu sulit untuk dimengerti. Ditambah dengan munculnya istilah "kekeluargaan yang semu", gw semakin bingung apakah kekeluargaan di perkotaan memang berbeda jauh dengan di kampung?
Dalam suatu diskusi tentang angkatan gw suatu malem, ketua angkatan gw bingung bagaimana meningkatkan kekeluargaan di internal angkatan. Pertanyaan ini sangat tidak bisa gw jawab karena kekeluargaan sendiri bukan untuk dibentuk secara conscious, tapi ada begitu saja dalam kegiatan yang dijalani bersama. Mungkin kurang adanya momen "dawegan-dawegan" dalam angkatan gw lah yang membuat angkatan gw desperate untuk membangun kekeluargaan tersebut.
Hal ini ngga hanya terjadi dalam angkatan gw, tapi dalam formulasi suatu visi misi atau kaderisasi. Dicantumkan dalam suatu visi misi, gw merasa bingung kenapa sebegitu inginnya orang untuk membentuk kekeluargaan secara sadar. Hal ini diperparah dengan menyantumkan misi dalam mengaccomplish visi ini dalam bentuk program kerja. Hilang sudah arti kekeluargaan yang sejati itu.
Entah faktor lingkungan atau apa yang membuat semua hal sekarang bersifat kompleks. Kepraktisan akan kekeluargaan pun sirna karenanya. Ya, sulit memang untuk mencari sesuatu yang simpel ketika berbicara tentang manusia. Kedinamisannya membuat kita trus berfikir untuk mencari solusi yang tepat. Momen "dawegan-dawegan" itu pun bisa jadi dirasa kurang efektif dalam mengatasi kurangnya kekeluargaan tersebut. Namun, gw selalu berharap agar rasa kekeluargaan selalu ada baik dalam angkatan maupun dalam karier gw nanti karena gw tau kekeluargaan membuat kehadiran orang jadi lebih berarti. 

Karbon

Udah 4 bulan lebih rasanya gw ngelewatin satu tahap penting di kampus gw tercinta, yaitu osjur atau ospek jurusan. Ya, emang capek banget rasanya waktu itu gw laluin bersama teman-teman satu angkatan gw. Ada masa ketika angkatan gw cekcok satu sama lain tentang hal yang bernama osjur ini. "Ngga jelas", "Kakaknya ngga adil!", "Tugasnya berat.", dan lain sebagainya. Komentar dari tiap individu di angkatan gw membuat gw menarik satu benang merah antar mereka, apakah osjur semacam ini perlu?
Gw sempet berbincang-bincang sama temen sd gw, yang dimana sekarang dia kuliah di York University, Ontario, Canada. Dia nanya tentang bagaimana sistem perkuliahan di Indonesia dalam bidang organisasinya. Ketika gw bilang apa yang terjadi di kampus gw, temen gw ngomong satu statement dimana gw langsung bertanya tentang apa esensi dari yang telah gw lalui. Dia bilang "What a harsh life you have." Mengingat kembali apa yang waktu dulu temen-temen di angkatan gw bilang, gw bertanya ke diri gw dengan perspektif yang lebih luas, apakah sistem kaderisasi di negara gw mesti seperti ini?
Masuk ke tahap menuju pengkader, gw suka mengkaji dengan teman gw, dimana sekarang dia ngejabat sebagai ketua osjur selanjutnya. Diskusi yang dilangsungkan selalu sama, gimana membuat osjur yang mendekati ideal? Bahkan, kadang diskusi ngarah ke pertanyaan apakah kita perlu melakukan osjur ini? Seperti biasa, jawaban variatif tiap orang dengan menghasilkan pro kontra antar satu sama lain. Perspektif orang pun berbeda-beda melihat dari teknis osjur, materi osjur, bahkan yang paling sepele, perlakuan para panitia kepada para kader.
Gw mulai mendapat pencerahan ketika gw dapat training tentang menjadi pengkader dari senior gw. Sebenarnya, apa yang didiskusikan teman-teman gw dahulu serta gw adalah bagaimana gw merespon osjur secara dangkal. Osjur sendiri merupakan tahap dari kaderisasi yang intinya menyiapkan para kadernya menjadi pemimpin. Dalam kaderisasi ini, ada nilai-nilai yang ingin ditanamkan bergantung kepada kebutuhan organisasi itu sendiri.
Nah, sekarang yang menjadi pertanyaan gw, kenapa osjur mesti identik dengan "harsh" yang dikatakan temen gw itu? Bukankah di negara lain organisasi pada umumnya bersifat minat aja? Kalo diibaratkan, manusia itu sebagai karbon, ia bisa memilih untuk menempa diri jadi grafit yang lemah atau intan yang kuat. Secara realita, ngebentuk grafit lebih gampang karena delta Gf nya lebih kecil#sokengineer lg. Berarti jarang ada yang mau jadi intan yang kuat. Oleh karena itu, advantage dari osjur sendiri adalah karena sifatnya maksa; bikin orang tuh dipaksa untuk menempa dirinya jadi si intan. Tapi, ya walaupun begitu, secara realita orang yg merasakan osjur dan diluar osjur tidak semua menangkap maksud dari osjur itu sendiri. Ditambah panitia osjur yang kadang bermain dengan emosi dan melupakan tujuan osjur sesaat. Ya in the end, terciptalah label "harsh" tadi.
Walau pendapat orang bagaimana, satu hal yang perlu diperhatikan adalah kaderisasi itu perlu karena kalau kita liat, menjadi manusia yang ideal merupakan cita-cita bukan hanya untuk individu yg bersangkutan, tapi juga masyarakat pula. Oleh karena itu, sewajarnya memang kaderisasi itu diperlukan.

Sunday, May 18, 2014

Coca-cola

Ini terjadi ketika gw dulu pacaran pas SMA, ya sebut saja mantan gw si S. Kerasa banget awal-awal hidup gw bakal kaya lirik lagu You nya Basil Valdez. Wajar, pertama kali pacaran dan bulan-bulan pertama, ngga terlalu lebay kalo misalnya gw bilang kaya lirik lagu ini. Gw yang awalnya cuman tau belajar doang sekarang udah tau apa itu pacaran dll. Sampe di suatu titik, gw merasa ada kekecewaan besar yang membuat akhirnya gw kaya lirik lagu After the Love has Gone. Hilang itu semua kata suka dan cinta yang gw utarain ke dia. Ya, itu adalah titik jenuh atau saturated point #sokengineer.

Ini sebenernya contoh dari banyak masalah umum yang gw soroti tidak hanya di hidup gw tapi di hidup orang lain. Semangat dalam berkomitmen kalo bisa dideskripsikan dengan frasa untuk masalah umum yang gw ingin highlight. Hal ini juga kejadian tidak hanya dalam masalah pacar-memacar, tapi juga masalah akademik ataupun organisasi. Pas dulu gw keterima di ITB, terasa banget euforia gw bagaimana. Ketidak sabaran gw untuk menuntut ilmu, berkomitmen untuk memberikan segenap kemampuan gw untuk membanggakan orang tua gw terasa mengalir banget di sistem peredaran darah gw. Saking ngga sabarnya, gw udah ngebeli buku kuliah bahkan sebelum gw memulai perkuliahan gw. Ya, tapi seperti yang gw bilang dengan masalah umum tadi, ngga sampai satu tahun gw udah jenuh dengan rutinitas yang gw lakukan.

Kalo menurut ekonomi, gw itu adalah orang-orang yang patuh sama Hukum Gossen I yang intinya kita bakal bosen dengan produk yang kita beli terus menerus. Manusia itu memang dinamis kehidupannya, selalu ada posisi ketika dia bergelora dengan semangat dan posisi jenuh. Kalo diibaratin, manusia itu bakal mengikuti prinsip coca-cola dimana ketika dikocok dan dibuka, buihnya bakal banyak banget. Tetapi, setelah beberapa menit, buihnya bakal hilang. Buih itu dianalogikan semangat untuk berkomitmen itu. Banyak sekali ketika memulai pertama kali dan perlahan hilang begitu saja.

Memang sulit untuk mengovercome hal seperti ini. Bukan di ranah pribadi saja, dalam kerjaan pun seperti itu. Setahun yang lalu, gw mengikuti seminar Integrated Petroleum Week dimana disana menghadirkan pembicara-pembicara dari perusahaan migas prominen. Ada suatu bagian yang menarik perhatian saya ketika salah satu pembicara dari Halliburton mengingatkan tentang bagaimana pekerjaan di offshore. Diperlihatkan bagaimana pekerja-pekerjanya banyak yang ingin pulang ke rumahnya setelah berapa lama berada di offshore serta bagaimana rutinitas disana. Dari presentasi yang diperlihatkan, gw menyimpulkan bahwa sang pembicara ingin memberitahu audiens bahwa untuk mereka semangat untuk berkomitmen penting. 

Efek Coca-cola memang cukup bikin risih. Tak bisa kita pungkiri bahwa kita pernah mengalami efek ini. Dari kerja, akademik serta pergaulan sekalipun. Namun, disitulah kita sebagai manusia yang diuji untuk dilatih bagaimana komitmen kita untuk melakukan sampai akhir. Kita sebagai manusia selalu dihadapkan dengan temptation yang berat harus bisa melawan ke"mager"an itu. Mengingat kembali seperti apa rasanya momen awal itu bisa menambah "buih-buih" dari Coca-cola tersebut.

Bahagia

Bahagia, kalo didefinisikan sama banyak orang, pasti jawabannya berbeda-beda. Sama kaya gw ketika memandang bahagia itu kaya apa. Bahagia sendiri menurut gw adalah ketika gw merasa tidak stress karena gw tau ketika gw stress, gw ngga ngerasa bahagia. Hal ini gw aplikasiin ketika gw melihat orang seperti itu. Stress sendiri gw menilai dari ketidakpuasan atau kekecewaan yang memuncak terhadap suatu hal. Ketidakpuasan atau kekecewaan ini bisa bermacam-macam. Gw mengambil contoh teman gw, sebut aja si A. Si A ini memiliki ambisi untuk mendapat posisi ketua dalam suatu kegiatan di himpunan yang gw masuki. Namun si A tidak bisa mencapai posisi ketua dikarenakan dukungan temannya yang sedikit. Kekecewaan terhadap teman-temannya yang ngga mendukung dia membuat gw mengecap dia sedang stress. Lalu, sesuai definisi awal yang gw sebutkan, gw bisa menyimpulkan dia tidak bahagia. Sedihnya lg, tidak hanya gw yang mengecap seperti itu, tapi angkatan gw juga yang akhirnya terciptalah label "pundung".

Bicara tentang bahagia melalui definisi awal gw, agak sulit sepertinya untuk mendapatkan kebahagiaan secara permanen. Ada saatnya pasti kita semua ngerasain kecewa terhadap suatu kondisi. Hal-hal yang membuat kita kecewa tentunya sulit terelakkan. Ketika gw mendapatkan nilai yang ngga bagus di kuliah gw, gw merasa gw ngga bahagia. Ketika gw sakit dan kecewa gw ngga bisa nongkrong bareng temen-temen gw, gw merasa gw ngga bahagia. Bahkan sampai hal sepele seperti gw kecewa dengan perlakuan teman dekat gw, gw merasa ngga bahagia. Kalau bisa dibilang, bahagia dari perspektif gw adalah bahagia yang standarnya terlalu tinggi.

Tapi, gw tau bahwa gw punya pilihan untuk itu semua. Gw punya pilihan untuk tidak kecewa dengan keadaan yang ada. Gw punya pilihan untuk bangkit setelah termakan dengan kekecewaan gw menumpuk. Gw punya pilihan untuk mengejar kebahagiaan untuk gw sendiri. Gw punya kebebasan untuk mencari pelarian dari kekecewaan yang ada. Berdasarkan buku yang gw baca, bahagia itu tanggung jawab gw karena kebahagiaan itu merupakan sebab dari pikiran gw sendiri. Reaksi dari kondisi yang ada merupakan buah dari pikiran kita. Nah, dari pikiran ini kita bisa gampang untuk me overcome kekecewaan itu. Kalo kata pak Abraham Lincoln, "Most folks are as happy as they make up their minds to be" yang artinya orang tuh bisa bahagia kalo mereka sendiri berpikir untuk bahagia.

Kalo bisa gw simpulin, bahagia itu adalah cause and effect. Apa tindakan kita terhadap satu kondisi yang mengecewakan akan menghasilkan kebahagiaan yang nihil atau nyata. Semua bergantung kepada pikiran kita. Apakah kita mau tersenyum dengan kondisi yang ada atau menangis atas kejadian yang menimpa kita itu adalah sebuah pilihan. Pilihan yang menentukan seberapa berharganya hidup kita dari perspektif kita.